Sabtu, 17 November 2012

MoU Vs Undang-Undang


Oleh : Muhammad Mahfudh

MoU atau Memorandum of Understanding atau Nota kesepahaman merupakan suatu bentuk perjanjian / kesepakatan awal menyatakan langkah pencapaian saling pengertian antara kedua belah pihak untuk melangkah kemudian pada penandatanganan suatu kontrak. Jadi sejak awal para pihak bermaksud untuk memberlakukan perjanjian sebagai bagian kesepakatan untuk bernegosiasi. Jadi tidak untuk menciptakan akibat hukum terhadap konsekuensi pelaksanaan kesepakatan dari MoU tersebut. MoU merupakan langkah untuk memastikan masing-masing pihak telah saling mengenal dan memiliki kesamaan pemahaman dalam upaya mengurangi rasio kegagalan yang selanjutnya akan diikat dalam suatu kontrak. Secara teoritis MoU bukanlah kontrak karena masih dalam pra kontrak. MoU merupakan suatu bentuk perjanjian, dalam pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut pasal tersebut perjanjian tersebut hanya berlaku bagi pihak-pihak yang terlibat dalam perikatan tersebut saja. Jika terjadi wanprestasi yang dilakukan salah satu pihak dapat diselesaikan secara perdata. Dalam pasal 1338 KUHPerdata disebutkan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”, menurut pasal tersebut berlaku asas pacta sunt servanda bahwa janji harus ditepati. Selain itu dalam pasal 1337 KUHPerdata disebutkan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Dalam pasal 1337 dan 1338 KUHPerdata menunjukkan kedudukan kedudukan undang-undang lebih tinggi dibanding perjanjian, dan apapun objek perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang dapat membatalkan suatu perjanjian.

Undang-Undang dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Undang-Undang dalam arti materiil dan formil. Undang-undang dalam hal ini adalah Undang-Undang dalam arti kata formil atau Undang-Undang dalam arti sempit biasa digunakan istilah “Undang-Undang”, sedangkan dalam arti materiil memiliki makna yang luas biasa digunakan istilah “Peraturan”. Definisi Undang-undang dalam pasal 1 butir 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa “Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden”. Kedudukan Undang-undang dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia terletak diurutan ke-3 setelah Ketetapan MPR dalam pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011. Undang-undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk Negara. Undang-undang dapat pula dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak rakyat, dan hubungan diantara keduanya.



Jika kita melihat permasalahan antara KPK dengan POLRI mengenai kewenangan melakukan penyelidikan terhadap kasus korupsi simulator SIM, yang mana KPK berpegang teguh kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sedangkan POLRI berpegang teguh kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan MoU, tentu kita harus mengaca dulu dengan pengertian-pengertian diatas bahwa undang-undang bersangkutan dengan ketatanegaraan dan permasalahan yang terjadi diselesaikan secara konstitusi sedangkan kesepakatan atau MoU berhubungan dengan Hukum Perdata apabila terjadi masalah diselesaikan secara perdata antara pihak para pihak.

Berikut   kesepakatan dimaksud yang ditandatangani pada tanggal 29 Maret 2012 di Kejagung,   yaitu :
  1. bagian penyelidikan maka penentuan instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyeledikan atau atas kesepakatan PARA PIHAK;
  2. Penyelidikan yang dilakukan pihak kejaksaan dan pihak POLRI  diberitahukan kepada pihak KPK, dan perkembangannya diberitahukan kepada pihak KPK paling lama 3 (tiga) bulan sekali;
  3. Pihak KPK menerima rekapitulasi penyampain bulanan atas kegiatan penyelidikan yang dilaksanakan oleh pihak Kejaksaan dan pihak Polri;
  4. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi oleh salah satu pihak dapat dialihkan ke pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan terlebih dahulu dilakukan gelar perkara yang dihadiri oleh  PARA  PIHAK, yang pelaksanaannya dituangkan dalam Berita Acara.

Dalam permasalahan tersebut masing-masing pihak mengklaim lebih dulu mengeluarkan surat perintah penyelidikan (Sprinlid). Polri mengklaim penyelidikan kasus dugaan korupsi simulator SIM sesuai dengan Sprinlid /55/V/2012/Tipidkor tanggal 21 Mei 2012, di mana Polri telah melakukan introgasi dan pengambilan keterangan dari 33 saksi yang dinilai tahu tentang pengadaan simulator SIM roda 2 dan roda 4. Sedangkan KPK seperti yang disampaikan Wakil ketua KPK Bambang Widjojanto, telah lebih dahulu melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus simulator SIM. KPK telah menyelidiki kasus ini sejak 20 Januari 2012 dan menaikkan ke tahap penyidikan tanggal 27 Juli 2012, dan menetapkan DS dan kawan-kawan sebagai tersangka.

Melihat permasalahan tersebut seharusnya diselesaikan secara Hukum Ketatanegaraan, karena kalau melihat pasal 6 butir c Undang-undang nomor 30 tahun 2002 KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pada pasal 7 butir a UU nomor 30 tahun 2002 KPK berwenang mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, dalam pasal 8 ayat (2) bahwa “Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan”. Sehingga dalam hal tersebut sesuai dengan pasal 1338 KUHPerdata perjanjian tersebut dapat ditarik kembali karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Sumber bacaan:
  1. Samidjo, S.H.. 1985.Pengantar Hukum Indonesia. Bandung: Armico.
  2.  J.C.T. Simorangkir, S.H., dkk. 2000. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika;
  3. Kopong Paron Pius, SH.,SU., 2011, Diktat Mata Kuliah Hukum Perikatan, Fakultas Hukum Universitas Jember.
  4.  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt).
  5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
  8. http://news.detik.com/read/2012/08/04/093627/1983031/10/ diakses pada 10 Nopember 2012.
  9. http://id.wikipedia.org/wiki/Kontrak diakses pada 10 Nopember 2012.
  10. http://id.wikipedia.org/wiki/Nota_kesepahaman diakses pada 10 Nopember 2012.
  11. http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang diakses pada 10 Nopember 2012.



5 komentar


EmoticonEmoticon