Banyak permasalahan yang tentunya membutuhkan pengaturan
sehingga ada penyelesaian mengenai permasalahan yang terjadi. Permasalahan yang
terjadi biasanya memenuhi suatu pasal tertentu didalam suatu peraturan
perundang-undangan. Didalam memahami isi dari suatu peraturan
perundang-undangan terkadang masih belum jelas / kabur makna dari suatu pasal
baik perkata maupun satu per-kalimatnya. Meskipun dalam suatu perundang-undangan
biasanya terdapat penjelasannya terkadang juga masih belum jelas atau kabur
sehingga terkadang subyek hukum menafsirkannya dengan lebih mementingkan
kepentingannya. Oleh karena itu didalam menafsirkan pasal dalam undang-undang
perlu melihat azas-azas didalam peraturan perundang-undangan tersebut, pasal
lain, memperhatikan pendapat para ahli, serta melihat perturan
perundang-undangan lainnya.
Pasal 6 huruf n Undang-undang Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan serta perubahannya Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menurut saya agak kabur. Pada
penafsiran ini terkait dengan kegiatan usaha bank, yang terdapat pada pasal 6
Undang-Undang Perbankan. Pemaknaan makna dari kata “lazim” dari substansi pasal
6 huruf n Undang-undang Perbankan bahwa “melakukan kegiatan lain yang lazim
dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Sebelum mulai menafsirkan / menginterpretasikan hal
yang perlu diketahui adalah apa itu penafsiran hukum / interpretasi hukum ?. Penafsiran hukum ialah suatu upaya untuk menjelaskan
atau menegaskan pengertian dari
dalil-dalil (ketentuan-ketentuan) yang tercantum dalam peraturan hukum. Ada
beberapa jenis penafsiran hukum yaitu :[1]
- Penafsiran tata bahasa (gramatikal);
Pada penafsiran gramatikal ketentuan yang terdapat di peraturan perundang-undangan ditafsirkan dengan berpedoman pada arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan. - Penafsiran sahih (autentik/resmi);
Penafsiran autentik adalah penafsiran yang dilakukan berdasarkan pengertian yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang - Penafsiran historis;
Penafsiran historis dilakukan berdasarkan:
- Sejarah hukumnya, yaitu berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut;
- Sejarah undang-undangnya, yaitu dengan menyelidiki maksud pembentuk undang-undang pada saat membentuk undang-undang tersebut. - Penafsiran sistematis;
Penafsiran sistematis dilakukan dengan meninjau susunan yang berhubungan dengan pasal-pasal lainnya, baik dalam undang-undang yang sama maupun dengan undang-undang yang lain. - Penafsiran nasional;
Penafsiran nasional merupakan penafsiran yang didasarkan pada kesesuaian dengan sistem hukum yang berlaku. - Penafsiran teleologis (sosiologis);
Penafsiran sosiologis merupakan penafsiran yang dilakukan dengan memperhatikan maksud dan tujuan dari undang-undang tersebut. Penafsiran sosiologis dilakukan karena terdapat perubahan di masyarakat,sedangkan bunyi undang-undang tidak berubah. - Penafsiran ekstensif;
Penafsiran ekstentif dilakukan dengan memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan - Penafsiran restriktif;
Penafsiran restriktif dilakukan dengan mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan. - Penafsiran analogis;
Penafsiran analogis dilakukan dengan memberikan suatu kiasan atau ibarat pada kata-kata sesuai dengan asas hukumnya. - Penafsiran a contrario (menurut peringkaran).
Penafsiran a contrario adalah penafsiran yang didasarkan pada perlawanan antara masalah yang dihadapi dengan masalah yang diatur dalam undang-undang.
Dalam melakukan kegiatan usahanya perbankan memiliki
asas, fungsi dan tujuan yang disebutkan pada Bab II Undang-Undang Perbankan
yaitu asas demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian, fungsi sebagai
penghimpun dan penyalur dana masyarakat,
dan tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan
pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak. Asas hukum perbankan menurut Rachmadi Usman yaitu
:[2]
Isi dari pasal 6 huruf n Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan serta perubahannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan bahwa “melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Jika melihat penjelasan isi dari pasal tersebut adalah “Kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank dalam hal ini adalah kegiatan-kegiatan usaha selain dari kegiatan tersebut pada huruf a sampai dengan huruf m, yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya memberikan bank garansi, bertindak sebagai bank persepsi, swap bunga, membantu administrasi usaha nasabah dan lain-lain.” Jika Menggunakan penafsiran gramatikal, dengan melihat isi dan penjelasan tersebut penekanannya ada pada frasa “kegiatan lain”, kata “lazim”, dan kalimat “sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
- Asas Demokrasi Ekonomi;
Maksudnya fungsi dan usaha perbankan diarahkan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[3] - Asas Kepercayaan (Fiduciary Priciple);
Suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dan nasabahnya.[4] - Asas Kerahasiaan (Confidence Principle);
Asas yang mengharuskan atau mewajibkan bank merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan (wajib) dirahasiakan.[5] - Asas Kehati-hatian (Prudential Principle);
Suatu asas yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya.[6]
Isi dari pasal 6 huruf n Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan serta perubahannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan bahwa “melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Jika melihat penjelasan isi dari pasal tersebut adalah “Kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank dalam hal ini adalah kegiatan-kegiatan usaha selain dari kegiatan tersebut pada huruf a sampai dengan huruf m, yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya memberikan bank garansi, bertindak sebagai bank persepsi, swap bunga, membantu administrasi usaha nasabah dan lain-lain.” Jika Menggunakan penafsiran gramatikal, dengan melihat isi dan penjelasan tersebut penekanannya ada pada frasa “kegiatan lain”, kata “lazim”, dan kalimat “sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pada kata “kegiatan lain” memiliki maksud kegiatan
usaha bank selain yang disebutkan pada pasal 6 huruf a sampai dengan m. Pada poin
huruf n ini memberikan peluang kepada bank untuk melakukan berbagai kegiatan
usaha termasuk kegiatan mengelola satelit, jual beli, dan lain sebagainya yang
tentu saja untuk mendapatkan keuntungan bagi lembaga bank itu sendiri. Pada kata
“lazim” jika menurut arti harfiah berarti sudah biasa / sudah menjadi kebiasaan
/ sudah umum. Melihat pengertian bank sendiri pada pasal 1 angka 2 UU No. 10
Tahun 1998 bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak. Dari pengertian bank sendiri maka kegiatan yang lazim dilakukan bank
adalah terkait dengan dana / keuangan. Pada pasal tersebut tidak adanya
keharusan dalam penggunaan kata lazim. Sehingga menurut saya tidak masalah
ketika bank melakukan kegiatan yang tidak lazim dalam arti khusus. Pada kalimat
“sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku” merupakan suatu batasan dari pasal 6 huruf UU Perbankan. Meskipun
frasa “kegiatan lain” dan kata “lazim” bisa dimaknai bebas akan tetapi pada
kalimat “sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku” menjadi suatu batas bahwa bank dapat melakukan kegiatan lain
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Jika pada UU
Perbankan sendiri hal yang bertentangan dapat melihat pada pasal 10 bahwa “bank
umum dilarang : a. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf b dan huruf c; b. melakukan usaha perasuransian; c. melakukan
usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal
7. Sedangkan diluar UU Perbankan hal yang bertentangan dapat berupa hal-hal
yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Jika melihat asas perbankan yang disebutkan pada pasal
2 Undang-Undang Perbankan, yaitu asas demokrasi ekonomi, maka harus dilihat
terlebih dahulu kegiatan lain apa yang akan dilakukan oleh bank. Kegiatan lain
tersebut haruslah berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, selain
itu kegiatan itu haruslah dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dan
nasabahnya, selain itu bank dalam kegiatan usaha lain harus juga memperhatikan
kerahasiaan yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank
menurut kelaziman dunia perbankan, serta bank dalam melakukan kegiatan usahanya
wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa makna dari pasal 6 huruf
n Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah
bank umum dapat melakukan kegiatan lain (selain pasal 6 huruf a sampai dengan
m) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang berlaku dan berdasarkan asas perbankan.
[1]
C.S.T. Kansil, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 36-41.
[2] Rachmadi Usman, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 14.
[3] Ibid, hlm. 14.
[4] Ibid, hlm. 16.
[5] Ibid, hlm. 17.
[6] Ibid, hlm. 18.
Daftar Bacaan :
- Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
- C.S.T. Kansil, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Balai Pustaka;
- Kopong Paron Pius, 2011, Diktat Mata Kuliah Hukum Perbankan, Fakultas Hukum Universitas Jember;
- Rachmadi Usman, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
8 komentar
ini serius yah? aku baru tahu... hmmmm :-t
Emang kmn aja?
mantap, nambah ilmu...
wah keren, baru tau gan :D
terima kasih infonya gan sangat bermanfaat sekali
ane baru tau gan, lumayan buat ilmu kalo lolos masuk jurusan hukum
sangat bermanfaat gan terimakasih
terimaka atas informasi tentang penafsiran pasal 6.. sangat membantu banget....
EmoticonEmoticon