Berikut ini adalah runtutan perjalanan pembentukan dasar berlakunya hukum adat:
A. UUD Negara Republik Indonesia 1945
- Dasar berlakunya hukum adat dalam UUD 1945 adalah pasal II Aturan Peralihan. Menurut pasal ini dikatakan bahwa "segala badan negara dan peraturan yang ada masih terus berlangsung selama belum di adakan yang baru menurut Undang-undang dasar ini.";
- Aturan lama yang terus berlaku dan diberlakukan adalah UUDS 1950. Oleh karena itu baik di dalam UUD 1945 maupun di dalam UUDS 1950 tidak diberi undang-undang baru menurut UUD itu sebagai undang-undang organiknya, maka undang-undang yang dapat di jadikan dasar hukum berlakunya hukum adat adalah peraturan perundangan pada zaman Hindia Belanda yaitu Indesche Staatsregeling. Pasal 131 I.S berkaitan dengan golongan kebangsaan dan pasal 163 I.S berkaitan dengan hukum yang di kenakan kepadanya;
- Pasal 163 I.S menyebut golongan penduduk Hindia Belanda yang di golongkan ke dalam masing-masing golongan hukum.
B. Pasal 131 I.S
- Pasal 131 ayat (2) sub b Indesche Staatsregeling berisi ketentuan bahwa bagi golongan pribumi dan golongan timur asing berlaku 'adatrechts' mereka masing-masing yaitu bagi golongan timur asing lainnya adalah hukum 'kebiasaan' masing-masing;
- Bagi golongan eropa (barat) berlaku hukum eropa;
- Namun bila kepentingan mereka menghendaki, maka bagi pembuat odinantie atau pembuat Undangan-undangan yaitu Badan Legislatif Pusat/Gubernur Jendral bersama Volksraad, dapat menentukan: 1. Hukum Eropa, 2. Hukum Eropa yang telah diubah, 3. Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama, dan apabila kepentingan umum memerlukannya, berlaku, 4. Hukum baru, yaitu hukum hasil sintesa antara hukum adat dan hukum eropa. Menurut Van Vollenhoven disebut Fabtarie-Recht.
- Terhadap pasal 131 ayat 2 sub b Indische Staatsregeling ini perlu dikemukakan dua hal yaitu pertama, ketentuan tersebut merupakan pasal kodifikasi yaitu suatu ketentuan yang memuat pemberian tugas, bukan ketentuan tentang pemberian tugas kepada Hakim. Kedua, selama redaksi pasal 131 ayat 2 sub b Indische Staatsregeling berlaku redaksi ini berlaku sejak 1 januari 1920 - 1 januari 1926;
- Pegangan bagi hakim sebagi badan Yudisiel dalam penyelesaian sengketa perdata bagi golongan pribumi dapat dilihat dalam pasal 131 ayat 6 Indische Staatsregeling;
- perbedaan antara pasal 75 redaksi lama R.R 1854 dengan pasal 75 redaksi baru R.R 1854 (pasal 131 I.S), yaitu: 1. Pasal 75 redaksi lama R.R 1854 ditujukan kepada hakim, sedangkan Pasal 75 redaksi baru R.R 1854 (Pasal 131 I.S) ditujukan kepada Pembuat Ordonansi/ Undang-undang, 2. Pasal 75 redaksi lama R.R 1854 tidak memuat kemungkinan bagi Golongn Pribumi untuk menundukkan diri pada hukum baru, 3. Hukum adat tidak boleh diberlakukan apabila bertentangan dengan ’azas-azas keadilan’ lihat pasal 75 ayat (3) R.R Tahun 1854 redaksi lama dan apabila hukum adat tidak mampu menyelesaikan satu perkara, maka hakim dapat menggunakan hukum menurut ’azas-azas hukum eropa.’ Lihat Pasal 75 ayat (6) R.R 1854 redaksi lama;
- Buku ini, sependapat dengan Utrech dkk. Sebagaimana disebutkan diatas. Karena Bab II yang memuat Pasal 131 dan 134 IS bertitelkan ”Gouvernementrechter” yang didalamnya juga mengatur tentang Landraad yaitu Pengadilan Negeri sekarang. Jadi, berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, tidak mengatur tentang kekuasaan Administrasi Negara atau Tata Usaha Negara sebagaimana dikatakan oleh Van Vollenhoven dkk.nya. Oleh karena itu, kewenangan untuk mencari, menemukan, dan mengembangkan hukum adat, atau bahkan mungkin menghapuskan atau meniadakan hukum adat yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakatnya, jika tidak diatur oleh UU, maka hakimlah yang berwenang untuk hal itu.
C. PASAL 134 I.S
- Disamping Pasal 131, Indische Staatsregeling juga memuat pasal 134 yang berkaitan dengan dasar keberlakuan Hukum Adat;
- Bab VII I.S yang memuat Pasal 131 dan Pasal 134 itu hanya berlaku bagi hakim yang dahulu disebut ”Gouvernementrechter” (Landraad) yaitu sekarang bertindak sebagai Pengadilan Negeri. Dasar perundang-undangan berlakunya Hukum Adat bagi Peradilan Adat yaitu Inheemse Rechspraak yang berwenang sebagai peradilan bagi masyarakat atau Golongan Pribumi diatur didalam Pasal 3 Indie Stbl. 1932 No. 80 didaerah-daerah yang diberi nama ”Rechtstreeks Bestuurd atau Direct Gebied” yaitu daerah-daerah yang secara langsung diperintah oleh Pemerintah Hindia-Belanda;
- Peradilan Adat yang disinggung di dalam Indie Stbl. 1932 No. 80 yang disebutkan di atas adalah peradilan adat yang terdapat di daerah-daerah di Luar Jawa dan Madura.
D. UU Drt. No. 1 Tahun 1951
- UU Drt. No. 1 Tahun 1951 tentang “Tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan, dan acara Pengadilan Sipil” yang diundangkan dalam I.N No. 9 Tanggal 14 Januari 1951;
- UU Drt. No. 1 Tahun 1951 yang menyangkut hukum adat selengkapnya berbunyi : “Tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan, dan acara Pengadilan Sipil.” Pasal 1 ayat (2) UUDrt No. 1 Tahun 1951 I.N No. 9 mengatakan bahwa pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan :
a. Segala Pengadilan Swapraja (Zelfbestuurs-Rechtspraak) dalam Negara Sumatera Timur dahulu, dan Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali Pengadilan Agama, jika peradilan itu menurut ‘Hukum Yang hidup ‘ merupakan satu bagian tersendiri dari Peradilan Swapraja;
b. Segala Pengadilan Adat (Inheemse Rechtspraak in Rechstreeks Bestuurd Gebied) kecuali Peradilan Agama jika peradilan itu menurut ‘Hukum Yang Hidup’ merupakan satu bagian tersendiri dari Peradilan Adat. - Menurut Pasal 1 ayat (3) UU Drt No. 1 Tahun 1951, Dorpsrecht (Hakim Besar) tetap dipertahankan.
- Tentang Hukum pidana materiel, dalam UU Drt. No. 1 Tahun 1951 diatur didalam Pasal 5 ayat (3) sub b yang menyatakan bahwa : Untuk hukum perdata materiel dan ”untuk sementara waktupun” hukum pidana materiel yang sampai saat ini (tahun 1951) masih berlaku unuk masyarakat (kawula) Daerah Swapraja dan orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk masyarakat (kawula) itu, dengan pengertian : bahwa suatu perbuatan manurut ’Hukum yang hidup’ harus dianggap perbuatan pidana, akan tetap tiada bandingnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari 3 (tiga) bulan penajara dan/ atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantiannya dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum; dan
- Bahwa, bilamana Hukum Adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud diatas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa Hukum Adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti disebut diatas;
- Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip dengan perbuatan itu;
- Dalam UU Drt. No. 1 Tahun 1951 ini ada dua ketentuan yang berkenaan dengan Hukum Adat yang menimbulkan kesan seakan-akan Hukum Adat kurang mendapat tempat secara memadai dalam UU ini. Ketentuan pertama, mengenai penghapusan peradilan adat yang terlaksana secara keseluruhan pada Tahun 1970 melalui UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dengan catatan bahwa eksistensi peradilan adat tersebut masih diakui sepanjang menurut ’hukum yang hidup’ merupakan suatu bagian tersendiri dari peradilan adat. Ketentuan kedua, yang merupakan dasar hukum bagi berlakunya ’hukum adat delik’ berisi pengakuan kontemporer terhadap eksistensi bidang hukum tersebut, sehingga besarlah kemungkinannya bahwa delik-delik adat akan tidak diakui sama sekali di masa yang akan datang;
- Jadi pada intinya pada dasarnya pemerintah wajib menggali azas-azas hukum adat / agama yang berkanaan dengan hukum pidana adat, dengan tujuan menemukan hukum baru atau pemabaruan hukum nasional baik melalui penelitian (doktrin), atau melalui putusan hakim (yurisprudensi).
EmoticonEmoticon